Sekilas.co – Pelaku fashion lokal, Anastasia Setiobudi dari SukkhaCitta, menekankan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dari tanaman kapas asli dalam negeri bernama Kanesia, yang bermanfaat bagi industri tekstil lokal.
(Kanesia) itu adalah identitas kita, legasi kita, dan pusaka kita. Kenapa tidak kita lestarikan? ujar Anastasia saat ditemui di gerai SukkhaCitta, kawasan Senopati, Jakarta Selatan, Rabu.
Direktur Kreatif SukkhaCitta itu menjelaskan bahwa kapas Kanesia jarang digunakan secara komersial karena memiliki karakteristik berbeda dibanding kapas impor.
Kapas Kanesia tidak menghasilkan benang yang terlalu halus, sehingga kurang cocok untuk produksi kain yang membutuhkan tekstur halus seperti di pasar komersial. Kalau dipilin jadi benang, tidak bisa terlalu halus dan masih tersisa bijinya, jelas Anastasia.
Meski begitu, kain dari Kanesia memiliki tekstur unik, dengan serap-serap atau sisa biji kapas yang terlihat. Karakter ini justru menjadi daya tarik bagi SukkhaCitta dalam menciptakan produk fesyen otentik dan ramah lingkungan.
Fokus pada kelestarian dan identitas budaya membuat SukkhaCitta berupaya membangkitkan minat petani lokal untuk membudidayakan Kanesia.
Makanya kami gunakan kapas ini dalam koleksi Pertiwi, koleksi busana terbaru yang diluncurkan hari ini. Kami memberdayakan petani menanamnya secara tumpang sari di Jawa Timur, kata Anastasia.
Langkah ini menunjukkan bahwa penggunaan kapas lokal Kanesia tidak hanya mendukung industri fashion ramah lingkungan, tetapi juga mengangkat identitas dan warisan budaya Indonesia.
Anastasia Setiobudi, pelaku fashion lokal dari SukkhaCitta, menyatakan pihaknya tengah mendorong tim riset dan pengembangan untuk mengoptimalkan pemanfaatan kapas lokal, termasuk melalui edukasi petani menanam kapas dengan sistem tumpang sari. Sistem ini memungkinkan penanaman lebih dari satu jenis tanaman di satu lahan secara bersamaan, sehingga produktivitas lahan dapat meningkat.
Selain kapas, lahan pertanian bisa dimanfaatkan untuk menanam tanaman tekstil produktif lain seperti cabai dan tumbuhan indigofera, yang dikenal sebagai penghasil pewarna biru alami. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga menyuburkan tanah secara alami.
Dengan tumpang sari, cabai bersifat antihama dan pohon besar dapat berfungsi sebagai peneduh. Tanah pun menyerap lebih banyak karbon, yang penting untuk kesuburan, struktur tanah, daya serap air, dan mendukung kehidupan mikroba, jelas Anastasia.
Menurut Anastasia, sistem ini merupakan bagian dari misi keberlanjutan SukkhaCitta, yang bertujuan mengajak banyak pihak untuk ikut serta dalam melestarikan sumber daya lokal sekaligus meningkatkan produktivitas pertanian.
Pengusahaan sistem tumpang sari kapas ini telah dijalankan sejak 2020 oleh komunitas rantai pasok SukkhaCitta di Jawa Timur, menjadi contoh nyata sinergi antara fashion lokal dan pertanian berkelanjutan.





