sekilas.co – Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia, terutama bagi generasi muda. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube memungkinkan siapa pun untuk berbagi momen terbaik dalam hidupnya. Namun, di balik keindahan foto dan video yang diunggah, tersimpan fenomena psikologis yang sering tidak disadari, yaitu perbandingan sosial (social comparison). Ketika seseorang membandingkan kehidupannya dengan orang lain di media sosial, hal ini bisa memengaruhi perasaan, kepercayaan diri, bahkan kesehatan mental. Banyak remaja dan dewasa muda yang merasa hidup mereka kurang sempurna karena terus melihat kesuksesan, kebahagiaan, atau penampilan ideal orang lain di dunia maya. Padahal, yang terlihat di layar hanyalah potongan kecil dari kehidupan seseorang bukan seluruh kenyataannya.
Istilah perbandingan sosial pertama kali diperkenalkan oleh Leon Festinger (1954) dalam teorinya Social Comparison Theory. Menurut teori ini, manusia memiliki kecenderungan alami untuk menilai dirinya dengan membandingkan diri terhadap orang lain, baik dalam hal kemampuan, penampilan, maupun pencapaian. Di dunia nyata, hal ini bisa menjadi motivasi positif misalnya ketika seseorang terinspirasi oleh keberhasilan orang lain. Namun, di dunia media sosial, perbandingan ini sering kali bersifat negatif dan tidak realistis. Pasalnya, mayoritas konten di media sosial telah melalui proses seleksi, penyuntingan, dan filter yang membuat kehidupan seseorang tampak sempurna. Akibatnya, banyak pengguna merasa dirinya kurang meski sebenarnya mereka juga memiliki kelebihan dan kebahagiaan yang tidak kalah berharga.
Perbandingan sosial yang berlebihan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada kesehatan mental. Rasa tidak puas terhadap diri sendiri, rendah diri, iri hati, dan kecemasan sosial adalah beberapa contohnya. Banyak penelitian menunjukkan bahwa semakin sering seseorang membandingkan dirinya di media sosial, semakin tinggi risiko munculnya depresi dan gangguan kecemasan. Misalnya, seseorang bisa merasa gagal karena melihat teman-temannya liburan ke luar negeri, memiliki pasangan romantis, atau sukses di usia muda. Padahal, setiap orang memiliki waktu, peluang, dan jalan hidup yang berbeda. Perbandingan seperti ini hanya membuat pikiran lelah dan menurunkan rasa syukur terhadap apa yang sudah dimiliki. Jika dibiarkan terus-menerus, hal ini dapat mengganggu produktivitas, hubungan sosial, bahkan pandangan hidup seseorang.
Media sosial dirancang untuk menarik perhatian dan menciptakan keterlibatan (engagement). Algoritma platform digital sering menampilkan konten yang paling populer, paling menarik, dan paling sering dikomentari. Hal ini secara tidak langsung membentuk standar sosial yang tidak realistis. Kita lebih sering melihat keberhasilan orang lain daripada perjuangannya. Foto yang tampak bahagia bisa jadi diambil setelah banyak usaha atau bahkan dalam situasi sebenarnya yang tidak seindah kelihatannya. Selain itu, fitur seperti like dan followers memperkuat keinginan untuk diakui dan disukai oleh orang lain. Akibatnya, pengguna mulai menilai harga diri berdasarkan jumlah reaksi di media sosial, bukan dari nilai diri yang sesungguhnya. Pola pikir ini membuat seseorang terjebak dalam lingkaran perbandingan dan validasi eksternal.
Langkah pertama untuk menghindari dampak negatif perbandingan sosial adalah menyadari kapan dan bagaimana hal itu terjadi. Beberapa tanda yang bisa dikenali antara lain:
- 
Merasa sedih atau cemas setelah membuka media sosial. 
- 
Sering berpikir bahwa hidup orang lain lebih bahagia atau lebih sukses. 
- 
Menilai diri sendiri berdasarkan pencapaian orang lain. 
- 
Terobsesi memperbarui unggahan agar terlihat sempurna di mata orang lain. 
- 
Menghabiskan waktu lama menelusuri kehidupan orang lain tanpa tujuan jelas. 
 Jika kamu mulai mengalami hal-hal tersebut, itu tanda bahwa media sosial sudah mulai mengontrol perasaanmu, bukan lagi sekadar hiburan. Mengenali tanda ini sangat penting agar kamu bisa mulai mengambil langkah bijak sebelum perasaan negatif berkembang lebih jauh.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghindari perbandingan sosial dan menjaga kesehatan mental di dunia maya. Pertama, batasi waktu penggunaan media sosial misalnya hanya membuka aplikasi beberapa kali sehari atau menggunakan fitur screen time di ponsel. Kedua, ikuti akun yang memberi energi positif, seperti akun edukatif, inspiratif, atau yang mempromosikan self-love. Ketiga, hindari membandingkan hidupmu dengan orang lain karena setiap orang punya latar belakang, kemampuan, dan tantangan berbeda. Keempat, fokus pada diri sendiri dan kemajuan pribadi catat hal-hal kecil yang berhasil kamu capai setiap hari. Kelima, berlatih bersyukur dengan menulis jurnal syukur atau melakukan refleksi harian. Semua langkah ini membantu menumbuhkan pola pikir positif dan mengembalikan kontrol atas kebahagiaanmu sendiri.
Meski sering dianggap sebagai sumber tekanan, media sosial sebenarnya bisa menjadi alat positif jika digunakan dengan bijak. Platform ini dapat menjadi sarana belajar, membangun koneksi, dan mengembangkan kreativitas. Banyak komunitas daring yang mendukung kesehatan mental, berbagi motivasi, atau menyediakan ruang aman untuk berdiskusi. Kuncinya adalah menggunakan media sosial secara sadar dan selektif. Jangan hanya menjadi konsumen pasif, tetapi jadilah pengguna aktif yang membawa nilai positif bagi diri sendiri dan orang lain. Ketika kamu mengubah cara pandang dan menggunakan media sosial sebagai alat untuk tumbuh, bukan untuk membandingkan, maka platform digital dapat menjadi sumber inspirasi, bukan tekanan.
Pada akhirnya, menghindari perbandingan sosial di media sosial berarti belajar mencintai diri sendiri apa adanya. Dunia digital hanya menampilkan sebagian kecil dari kehidupan seseorang, bukan seluruh realitasnya. Setiap individu memiliki perjalanan unik dengan waktu dan proses masing-masing. Dengan membatasi konsumsi media sosial, bersyukur atas apa yang dimiliki, dan fokus pada pertumbuhan pribadi, kita bisa menjaga kesehatan mental di tengah derasnya arus informasi. Ingatlah bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh jumlah likes atau followers, melainkan oleh seberapa besar kamu berani menjadi diri sendiri. Ketika kamu mampu menghargai dirimu tanpa perlu pembanding, di situlah kebahagiaan dan ketenangan sejati akan tumbuh.
 
									 
													




