Sekilas.co – Di era digital yang serba terhubung, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur, jutaan orang menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggulir layar ponsel. Namun di balik koneksi tanpa batas ini, muncul satu tantangan besar yang kini mendapat perhatian luas: kesehatan mental akibat penggunaan sosial media yang berlebihan.
Studi dari berbagai lembaga internasional menunjukkan peningkatan tingkat kecemasan, stres, dan depresi yang berkaitan langsung dengan penggunaan media sosial, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Fenomena fear of missing out (FOMO), perbandingan hidup dengan orang lain, hingga tekanan untuk tampil sempurna secara online menjadi pemicu utama gangguan psikologis di era ini.
Menurut psikolog klinis, interaksi di media sosial kerap menciptakan ilusi bahwa hidup orang lain lebih menarik, sukses, atau bahagia. Hal ini mendorong individu untuk terus membandingkan dirinya, bahkan ketika yang dilihat hanyalah potongan kecil dari kenyataan yang telah dipoles sedemikian rupa. Akibatnya, rasa tidak percaya diri dan kecemasan sosial pun meningkat.
Tak hanya itu, banyak pengguna media sosial juga mengalami kelelahan digital atau digital fatigue. Notifikasi yang terus-menerus, tekanan untuk selalu online, serta komentar negatif atau cyberbullying menjadi beban tersendiri yang perlahan mengikis ketenangan mental. Ironisnya, walau merasa tertekan, sebagian orang tetap sulit melepaskan diri dari kebiasaan tersebut.
Pentingnya menjaga kesehatan mental di tengah derasnya arus sosial media kini mulai disuarakan banyak pihak. Beberapa kampanye digital bahkan mendorong gerakan social media detox, yakni beristirahat dari platform media sosial untuk sementara waktu guna memulihkan keseimbangan emosi dan pikiran. Langkah ini terbukti efektif membantu banyak orang merasa lebih tenang, fokus, dan bahagia.
Platform besar seperti Instagram dan TikTok pun mulai merespons dengan menambahkan fitur pembatasan waktu layar dan penyaringan komentar. Meski begitu, tanggung jawab terbesar tetap ada pada pengguna: bagaimana menggunakan media sosial secara bijak tanpa membiarkan algoritma mengendalikan emosi dan persepsi diri.
Psikolog menyarankan beberapa strategi, seperti membatasi waktu penggunaan harian, menyaring akun yang diikuti, dan memprioritaskan interaksi yang sehat dan membangun. Selain itu, penting juga untuk tetap menjalin hubungan sosial di dunia nyata dan melakukan aktivitas yang memberi makna, seperti hobi atau olahraga.
Kesimpulannya, media sosial bukanlah musuh, tetapi alat yang perlu digunakan dengan kesadaran penuh. Dengan menjaga batasan dan tidak terjebak dalam pencitraan digital, kita bisa menjaga kesehatan mental tetap stabil sambil tetap terkoneksi dengan dunia luar. Karena pada akhirnya, kedamaian pikiran jauh lebih berharga daripada jumlah likes di layar.





