sekilas.co – Baru-baru ini terjadi pengeroyokan terhadap seorang pemuda bernama Arjuna Tamaraya (21 tahun) hingga tewas, lantaran korban tidur di dalam Masjid Agung Sibolga, Jalan Diponegoro, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga, Provinsi Sumatra Utara pada Jumat, 31 Oktober 2025 sekitar pukul 03.30 WIB.
Polres Sibolga telah meringkus lima tersangka pengeroyokan terhadap korban. Kelima tersangka yakni Rismansyah Efendi Caniago (30), Chandra Lubis (38), Zulham Piliang alias Ajo (57), Hasan Basri alias Kompil (46), dan Syazwan Situmorang (40).
Lantas bagaimana Islam dan juga ulama menilai hukum tidur di dalam masjid? Berikut penjelasan yang Narasi himpun dari berbagai sumber.
Hukum tidur di dalam masjid menjadi bahan diskusi di kalangan ulama. Salah satu pendapat yang terkenal adalah dari Imam Syafi’i yang berargumen bahwa tidur di masjid adalah mubah (boleh) berdasarkan pengalaman sahabat Nabi, Thamamah.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa bahkan bagi non-Muslim, masjid merupakan tempat yang bisa digunakan untuk istirahat. Ini menunjukkan bahwa jika orang yang tidak beriman saja diperbolehkan beristirahat di masjid, tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk diperlakukan sebaliknya.
Selain itu, para ulama juga menjadikan sebuah hadis terkait situasi keluarga Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai dalil kebolehan tidur di masjid. Suatu ketika Rasulullah mendatangi rumah putrinya, Fatimah ra., namun tidak mendapati Ali di sana. Fatimah menjelaskan: “Ada satu masalah di antara saya dengan dia, sehingga dia keluar rumah.”
Rasulullah kemudian mengutus sahabat mencari Ali. Ternyata, Ali tertidur di dalam masjid dengan pakaian dan tubuh yang berdebu. Rasulullah SAW menyapanya seraya bersabda: “Bangunlah, Hai Abat-turab (Bapak yang berlumur debu)!” Riwayat ini sering dijadikan landasan bahwa tidur di masjid tidak dilarang.
Mazhab lain seperti Maliki juga memberikan pandangan serupa, meskipun mereka menganggap tidur di masjid hukumnya makruh bagi mereka yang memiliki tempat tinggal. Namun, pendapat ini tidak serta-merta menjadikan tidur di masjid sebagai suatu larangan. Para ulama secara umum bersepakat bahwa dengan menjaga kebersihan dan kesopanan, tidur di masjid adalah tindakan yang diperbolehkan.
Masjid Nabawi, sebagai salah satu masjid paling terkenal dalam sejarah Islam, selalu menjadi ruang terbuka bagi umat. Di masa Rasulullah, masjid ini bukan hanya digunakan untuk salat, tetapi juga sebagai tempat berkumpul, belajar, serta melakukan berbagai kegiatan sosial lainnya. Lingkungan masjid saat itu sangat ramah, di mana segala kalangan, termasuk non-Muslim, diperbolehkan untuk beristirahat dan berkumpul.
Masjid juga berfungsi sebagai tempat belajar. Banyak sahabat Nabi, termasuk Abdullah bin Umar, sering menghabiskan waktu di masjid untuk belajar dan berdiskusi tentang ajaran Islam.
Dalam hal ini, masjid telah menjadi pusat pendidikan dan diskusi, yang menunjukkan bahwa masjid lebih dari sekadar tempat untuk berdoa. Ini membuktikan bahwa masjid seharusnya tetap menjadi tempat yang ramah dan terbuka untuk berbagai aktivitas umat.
Dewasa ini, banyak masjid yang megah dan modern, tetapi tidak selalu ramah. Pengelola masjid cenderung membatasi akses kepada jamaah setelah waktu salat, dan sering kali pintu masjid dikunci rapat. Sikap ini menciptakan citra masjid sebagai tempat eksklusif, yang bertentangan dengan tujuan asal masjid sebagai rumah Allah.
Kebijakan pembatasan akses ini berpotensi merugikan umat, menghilangkan fungsi masjid sebagai tempat berkumpul dan beristirahat. Banyak orang yang berkunjung ke masjid untuk menanti waktu salat, mengikuti kajian, atau hanya mencari tempat bernaung, tetapi harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak bisa tinggal lama di dalam masjid. Ini mengubah citra masjid yang seharusnya ramah menjadi tempat yang terlihat sakral dan kaku.
Dampak dari pengelolaan yang ketat ini adalah hilangnya interaksi sosial di masjid. Anak–anak yang belajar, berdiskusi, dan bercanda di masjid sering kali dilarang, yang pada akhirnya menciptakan suasana tidak nyaman.
Hal ini tentu bertentangan dengan semangat masjid sebagai tempat yang ramah. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa masjid hanya untuk ibadah sakral. Sebaliknya, banyak contoh dari sejarah yang menunjukkan fungsinya sebagai ruang sosial.
Secara keseluruhan, pandangan ulama dan praktik sejarah menunjukkan bahwa masjid seharusnya tetap menjadi rumah Allah yang ramah dan terbuka bagi seluruh umat. Masjid adalah tempat di mana mereka dapat beristirahat, berkumpul, dan membangun interaksi sosial, tanpa kekhawatiran akan teguran maupun batasan yang kaku.





