Gaya Hidup Terlalu Mewah Bisa Jadi Bumerang bagi Kehidupan Sosial

unsplash.com/Mehdi Benkaci

Sekilas.co – Fenomena gaya hidup mewah kini semakin sering terlihat di berbagai lapisan masyarakat, terutama dengan maraknya media sosial. Pamer barang branded, kendaraan mewah, hingga liburan ke luar negeri seolah menjadi simbol status yang membanggakan. Namun, gaya hidup terlalu mewah tidak selalu membawa dampak positif. Sebaliknya, hal ini bisa menjadi bumerang yang berpengaruh pada kesehatan mental, keuangan, bahkan hubungan sosial.

Para pengamat sosial menilai, tren gaya hidup berlebihan sering muncul karena adanya tekanan sosial atau keinginan untuk diakui. Generasi muda, misalnya, merasa perlu menunjukkan kesuksesan melalui penampilan dan materi. Akibatnya, mereka kerap terjebak dalam siklus konsumtif yang sulit dihentikan. “Rasa ingin tampil lebih dari orang lain bisa menjerumuskan pada perilaku yang tidak sehat,” ujar seorang pakar sosiologi.

Baca juga:

Selain itu, gaya hidup terlalu mewah seringkali tidak sejalan dengan kemampuan finansial seseorang. Banyak kasus di mana individu rela berutang hanya demi membeli barang mahal atau mengikuti tren gaya hidup kelas atas. Kondisi ini tentu membahayakan stabilitas keuangan jangka panjang. Jika tidak diantisipasi, seseorang bisa mengalami krisis finansial yang sulit diatasi.

Dari sisi sosial, gaya hidup berlebihan juga berpotensi menimbulkan kesenjangan. Ketika seseorang terlalu sering memamerkan kemewahan, hal ini bisa menimbulkan rasa iri, cemburu, bahkan konflik dengan lingkungan sekitar. Alih alih dihormati, orang yang berlebihan justru bisa dipandang negatif karena dianggap sombong atau tidak peka terhadap kondisi orang lain.

Dampak lain yang tidak kalah serius adalah pada kesehatan mental. Mereka yang terbiasa hidup terlalu mewah cenderung merasa cemas bila tidak mampu mempertahankan standar tersebut. Tekanan untuk selalu tampil glamor bisa memicu stres, depresi, hingga hilangnya rasa puas terhadap kehidupan sederhana.

Fenomena ini semakin diperparah oleh peran media sosial. Platform digital menjadi panggung untuk memamerkan kemewahan, yang pada akhirnya menciptakan budaya “pamer” tanpa batas. Banyak orang membandingkan hidupnya dengan kehidupan glamor orang lain, sehingga rasa minder dan tidak cukup baik semakin meningkat.

Meski demikian, tidak semua kemewahan harus dipandang buruk. Menikmati hasil kerja keras dalam bentuk barang atau pengalaman mewah tetap sah sah saja, selama dilakukan dengan bijak. Kuncinya ada pada pengendalian diri dan kesadaran finansial. Gaya hidup seharusnya mencerminkan keseimbangan, bukan sekadar simbol status.

Pakar keuangan menyarankan agar masyarakat lebih fokus pada kebutuhan utama dan investasi jangka panjang daripada sekadar mengikuti tren. Dengan demikian, gaya hidup bisa menjadi lebih sehat, terukur, dan tetap memberi kebahagiaan tanpa menimbulkan risiko di kemudian hari. Pada akhirnya, kesederhanaan seringkali justru lebih dihargai dibandingkan kemewahan yang berlebihan.

 

Artikel Terkait