Fenomena Flexing di Media Sosial Antara Gengsi Tekanan Sosial dan Dampak Psikologis

foto/istimewa

Sekilas.co – Dalam era digital yang serba terkoneksi, media sosial telah menjadi panggung utama bagi sebagian orang untuk memamerkan gaya hidup mewah, barang branded, hingga pencapaian pribadi. Fenomena ini dikenal luas dengan istilah flexing, yaitu perilaku pamer kekayaan atau kemewahan secara sengaja di media sosial. Meski dianggap sebagai bentuk ekspresi diri, flexing menuai kontroversi dan menimbulkan dampak psikologis bagi pelaku maupun penontonnya.

Flexing biasanya muncul dalam bentuk unggahan foto atau video yang memperlihatkan kehidupan glamor: dari liburan ke luar negeri, belanja barang mewah, hingga makan di restoran mahal. Konten seperti ini kerap dikemas sedemikian rupa agar terlihat sempurna dan menarik perhatian. Tak jarang, postingan tersebut disertai dengan caption motivasi atau kesan  inspiratif , meski tujuannya lebih pada membangun citra sosial.

Baca juga:

Menurut psikolog sosial dari Universitas Indonesia, Dr. Irena Wijaya, flexing muncul karena adanya kebutuhan akan validasi dan pengakuan.  Media sosial menciptakan ruang yang mendorong orang untuk terus dibandingkan. Flexing seringkali merupakan bentuk kompensasi dari rasa kurang percaya diri atau kebutuhan untuk merasa lebih unggul, ungkapnya dalam wawancara, Selasa (14/10).

Fenomena ini tak hanya terjadi di kalangan selebriti atau influencer, tapi juga merambah ke masyarakat umum. Banyak pengguna media sosial merasa terdorong untuk tampil  wah agar tidak kalah dengan lingkungannya. Akibatnya, muncul tekanan sosial untuk mengikuti gaya hidup yang sebenarnya tidak sesuai dengan kondisi finansial, bahkan memicu perilaku konsumtif dan utang gaya hidup.

Di sisi lain, penonton konten flexing bisa mengalami perasaan rendah diri, iri hati, atau krisis identitas, terutama anak muda. Algoritma media sosial yang menampilkan konten serupa secara terus menerus memperparah kondisi ini. Fenomena tersebut dikenal sebagai  toxic comparison , yaitu membandingkan diri sendiri dengan standar hidup yang tidak realistis.

Namun, tidak semua konten tentang kemewahan memiliki niat negatif. Beberapa kreator menyatakan bahwa mereka ingin menginspirasi orang untuk bekerja keras dan mencapai kesuksesan. Meskipun demikian, para ahli tetap mengimbau agar masyarakat mampu membedakan antara inspirasi dan provokasi, serta tidak terjebak dalam budaya pamer yang dangkal.

Pakar media digital, Dita Ramadhani, menekankan pentingnya literasi digital agar pengguna lebih bijak dalam mengonsumsi konten.  Penting untuk memahami bahwa apa yang kita lihat di media sosial hanyalah sebagian kecil dari kehidupan nyata seseorang. Jangan sampai kita mengorbankan kesehatan mental dan keuangan demi mengejar validasi online, ujarnya.

Flexing mungkin tak sepenuhnya bisa dihindari dalam budaya digital saat ini. Namun, kesadaran untuk tetap hidup sesuai kemampuan, menjaga kesehatan mental, dan membangun identitas yang otentik menjadi kunci agar media sosial tidak berubah menjadi sumber tekanan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Artikel Terkait