Fenomena gaya hidup terlalu tinggi semakin marak terlihat di berbagai lapisan masyarakat modern. Kehidupan serba cepat, teknologi digital, hingga tren media sosial membuat sebagian orang terdorong untuk tampil mewah demi citra diri. Mulai dari penggunaan barang bermerek, liburan ke luar negeri, hingga kebiasaan nongkrong di kafe mahal kini seolah menjadi standar keberhasilan seseorang. Namun, di balik gemerlap tersebut, gaya hidup berlebihan justru menyimpan konsekuensi serius, baik secara finansial maupun psikologis.
Dalam perspektif ekonomi, perilaku konsumtif menjadi dampak paling nyata dari gaya hidup yang terlalu tinggi. Survei Bank Indonesia mencatat peningkatan transaksi non tunai untuk kebutuhan konsumtif seperti fesyen, makanan, dan hiburan dalam lima tahun terakhir. Sayangnya, sebagian besar masyarakat yang ikut dalam arus ini tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka miliki. Kondisi tersebut memicu munculnya fenomena “financial stress” akibat ketidakmampuan mengelola pemasukan dan pengeluaran. Banyak kasus menunjukkan, orang yang memaksakan gaya hidup mewah sering terjebak pada utang konsumtif.
Selain urusan finansial, gaya hidup berlebihan juga memengaruhi kesehatan mental. Tekanan sosial untuk selalu terlihat “sempurna” sering memicu kecemasan, stres, bahkan depresi. Psikolog Universitas Indonesia, misalnya, menyoroti bahwa munculnya budaya pamer di media sosial mendorong individu untuk terus membandingkan diri dengan orang lain. Hal ini membuat sebagian orang merasa tidak pernah cukup, meski sudah mengorbankan banyak hal untuk memenuhi standar gaya hidup tertentu. Ketidakpuasan inilah yang akhirnya melahirkan krisis identitas dan rendahnya rasa percaya diri.
Fenomena gaya hidup terlalu tinggi juga erat kaitannya dengan perubahan budaya kerja. Banyak pekerja muda, khususnya generasi milenial dan Gen Z, merasa perlu menunjukkan keberhasilan finansial mereka melalui konsumsi barang barang premium. Namun, gaya hidup tersebut sering tidak sejalan dengan kestabilan penghasilan. Laporan Asosiasi Fintech Indonesia menunjukkan, sebagian besar peminjam dana online berasal dari kalangan usia produktif yang cenderung menggunakan pinjaman untuk kebutuhan konsumtif, bukan produktif. Artinya, perilaku mengejar gaya hidup tinggi semakin memperbesar risiko utang di usia muda.
Di sisi lain, masyarakat kerap terjebak dalam ilusi bahwa kemewahan identik dengan kebahagiaan. Padahal, riset global tentang kesejahteraan menunjukkan, rasa puas dan bahagia lebih banyak dipengaruhi oleh kualitas hubungan sosial, kesehatan, dan keamanan finansial dibandingkan kepemilikan barang mewah. Psikolog menyebut fenomena ini sebagai “hedonic treadmill”, yaitu kecenderungan manusia merasa bahagia sesaat setelah memperoleh sesuatu, lalu cepat kembali pada titik awal dan ingin mengejar hal baru lagi. Siklus ini membuat individu tak pernah merasa cukup, sehingga konsumsi berlebihan terus berulang.
Kritikus sosial menilai gaya hidup terlalu tinggi bukan sekadar masalah individu, melainkan fenomena struktural yang dipengaruhi sistem kapitalisme modern. Iklan, influencer, hingga algoritma media sosial secara tidak langsung membentuk standar baru tentang apa yang dianggap sukses. Bahkan, anak muda yang baru merintis karier sudah merasa tertinggal bila tidak mampu mengikuti tren konsumsi terkini. Situasi ini menunjukkan bahwa masalah gaya hidup bukan hanya persoalan pilihan, melainkan juga dampak dari lingkungan sosial yang terus mendorong perilaku konsumtif.
Meski demikian, sejumlah pakar keuangan menegaskan bahwa solusi tetap ada. Edukasi literasi finansial menjadi kunci utama untuk mengatasi fenomena gaya hidup terlalu tinggi. Mengelola pengeluaran sesuai kemampuan, membuat prioritas kebutuhan, serta menabung atau berinvestasi adalah langkah awal yang perlu diterapkan. Selain itu, kesadaran kolektif untuk tidak mudah terpengaruh dengan budaya pamer juga penting. Masyarakat perlu belajar bahwa kesuksesan tidak harus ditunjukkan melalui barang mewah, melainkan bisa diwujudkan lewat stabilitas hidup dan pencapaian jangka panjang.
Pada akhirnya, gaya hidup terlalu tinggi adalah fenomena nyata yang tidak bisa diabaikan. Di balik kilau gemerlap media sosial, banyak orang sebenarnya terjebak dalam kesulitan finansial dan tekanan psikologis. Kesadaran untuk hidup sederhana, realistis, dan sesuai kemampuan adalah langkah penting agar tidak terperangkap dalam jebakan gaya hidup modern yang semu. Dengan begitu, masyarakat dapat membangun kesejahteraan yang lebih berkelanjutan, baik dari sisi ekonomi maupun mental, tanpa harus mengorbankan kebahagiaan sejati.





