Pariwisata Jadi Katup Pengaman Ekonomi dan Sosial Sebuah Bangsa yang Strategis

foto/istimewa

sekilas.coIndonesia sering dipasarkan sebagai surga wisata: negeri seribu pantai, rimba eksotis, gunung yang menembus awan, dan kota-kota yang rajin memoles diri demi kedatangan turis.

Namun ada ironi yang tak pernah benar-benar hilang dari slogan-slogan itu negara yang diagungkan sebagai tempat liburan justru dihuni jutaan pekerja yang jarang benar-benar punya waktu untuk berlibur.

Baca juga:

Cobalah menyimak percakapan di ruang tunggu bandara, di warung kopi dekat kantor, atau di grup aplikasi pesan instan. Setiap kali ada hari kejepit nasional, pekerjaan seolah berhenti, dan semua orang sibuk menanyakan hal yang sama Mau kabur ke mana?

Bukan karena mereka punya banyak uang atau waktu, tetapi karena tubuh mereka mendesak untuk  melarikan diri dari ritme hidup yang terus memeras.

Kita hidup di negara yang terlihat santai di brosur, tetapi menuntut warganya bekerja tanpa jeda, seperti mesin yang tak boleh padam.

Cuti memang ada, tetapi tak pernah terasa sebagai  hak . Mengajukannya bisa seperti memasuki labirin birokrasi: formulir, laporan pengganti, izin atasan yang berubah-ubah, serta kewajiban tak tertulis untuk tetap terpantau dalam radar kantor.

Banyak pekerja akhirnya mengambil cuti sambil tetap membawa laptop, berjaga-jaga jika ada pesan Bro, urgent nih . Jadilah liburan yang tidak benar-benar libur hanya relokasi stres ke tempat dengan pemandangan lebih indah.

Maka, wisata perlahan berubah fungsi. Ia bukan lagi sekadar rekreasi, tetapi kompensasi struktural atas keletihan kolektif. Ia menjadi katup pengaman nasional, ruang kecil tempat manusia merasa memegang kembali kendali atas hidupnya, meski sesaat dan semu.

Di pantai, orang menciptakan ilusi jeda: tidur siang tanpa dering notifikasi, memandangi laut seolah waktu berhenti. Begitu kembali ke hotel, sinyal kembali penuh, dan kenyataan mengejar seperti tagihan yang jatuh tempo.

Pemikir sosial Zygmunt Bauman menyebut zaman sekarang sebagai liquid life hidup yang serba cair, cepat berubah, dan menuntut adaptasi tanpa henti. Dalam konteks itu, liburan menjadi bentuk pelarian pendek yang memungkinkan manusia  berhenti sejenak dari kewajiban . Pelarian semacam ini tidak menyembuhkan, hanya membantu manusia bertahan sedikit lebih lama.

Pasar pariwisata yang menjadi semacam pelarian massal bukan tanda masyarakat makmur, melainkan indikator betapa letihnya bangsa ini. Ketika objek wisata makin padat, bisa jadi itu barometer tekanan sosial yang terus menumpuk.

Wisata hadir sebagai ruang pernapasan darurat, tempat kita menunda kelelahan sebelum kembali dipanggil pulang oleh jam kantor.

Begitu seseorang melangkahkan kaki keluar dari rutinitas, industri pariwisata sudah menunggu di balik pintu menawarkan ilusi pelarian yang rapi, terkurasi, dan bisa dicicil tiga kali tanpa bunga.

Wisata hari ini bukan lagi perjalanan ia telah bermetamorfosis menjadi mesin penenang massal yang sangat efisien. Setiap sudut objek wisata dirancang bukan untuk mengajak manusia menghadapi hidup, tetapi untuk membuat mereka lupa bahwa hidup sedang berlangsung.

Kita melihatnya di mana-mana deretan kafe yang dibangun seindah mungkin agar orang betah atau setidaknya terlihat betah di foto festival yang muncul setiap akhir pekan tanpa jeda, menggantikan keheningan yang dulu menjadi bagian wajar dari lanskap dan ribuan titik berfoto yang sebenarnya tidak perlu, tapi tetap dibangun karena tanpa bukti visual, liburan rasanya tidak sah .

Sejarawan dan kritikus budaya Daniel J. Boorstin menyebut banyak acara modern sebagai pseudo-events  peristiwa yang diciptakan agar terlihat penting, bukan karena memang penting. Banyak agenda pariwisata musiman, festival mendadak, atau ajang hujan-hujanan penuh gimmick bisa masuk kategori ini. Kita datang bukan karena butuh acaranya, tetapi karena sudah dibangun narasi bahwa  inilah pengalaman yang harus kamu rasakan . Wisata, dalam kerangka Boorstin, menjadi mesin produksi pengalaman semu yang difoto duluan dan dirasakan belakangan.

Artikel Terkait