sekilas.co – Ketika pemerintah mendorong masyarakat menjadi lebih modern, publik menanggapinya dengan cara yang tentu saja tak pernah masuk dalam rencana siapapun. Hasilnya? Hantu pun turun ke jalan, lengkap dengan QRIS, seolah ikut lomba inovasi pelayanan publik.
Ada masa ketika ketakutan lahir dari sunyi: dari kisah yang dibisikkan nenek, dari lorong gelap, dari pantangan yang tak pernah benar-benar dijelaskan.
Sekarang, ketakutan sudah berubah wujud: ia bukan lagi makhluk gaib yang bersemayam di alam lain, tetapi produk yang bisa ditemui di trotoar kota, bahkan dengan metode pembayaran non-tunai.
Fenomena para hantu jalanan di Bandung, misalnya. Dulu mereka berfungsi sebagai tokoh folklor yang menjaga batas moral masyarakat; sekarang mereka berfungsi sebagai konten dan penghibur visual, lengkap dengan papan QRIS tergantung di dadanya.
Sejak pemerintah menggaungkan inklusi keuangan dan cashless society, medium digital menjadi semacam tolok ukur keberadaban baru.
Filsuf Kanada, Herbert Marshall McLuhan, pernah bilang, the medium is the message medianya sendiri mengubah cara kita memahami dunia. Dan ketika QRIS menjadi medium paling dominan, ia tak hanya mengubah cara bayar, tetapi juga cara masyarakat mendefinisikan eksistensi.
Maka kemunculan hantu yang menerima QRIS bukan hanya bahan candaan, melainkan refleksi bahwa medium digital telah melampaui fungsi awalnya. Kini, sesuatu dianggap nyata bukan karena bisa disentuh, tetapi karena bisa dipindai. Hantu tak lagi menakutkan yang menakutkan adalah jika ia tidak punya kode pembayaran.
Hantu-hantu di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, beroperasi dalam beragam wujud. Ada yang satu matanya buta, satu berdarah palsu, satu bergaya kuntilanak premium. Dan semuanya kompak: menerima donasi digital. Tidak ada lagi minta seikhlasnya . Sekarang, setan saja sudah ikut sistem perbankan modern.
Aneh? Tentu. Tapi juga sangat Indonesia. Kita ini bangsa yang tampaknya punya bakat alami untuk menyulap segala hal menjadi tontonan, termasuk rasa takut.
Industri menakut-nakuti sebenarnya bukan hal baru; taman hiburan horor, rumah hantu dadakan menjelang Halloween ala lokal, wisata mistis di gedung kosong itu semua sudah lama.
Tapi kemunculan hantu-hantu pekerja lepas di pinggir jalan menandai babak baru: ketakutan kini tidak lagi menunggu dikunjungi. Ia aktif menjemput pasar.
Dan pasar itu, rupanya, tidak kecil. Para pengendara melambat, menyalakan kamera, tertawa, menghibur diri, lalu memindai QRIS, seakan sedang menghargai performa sebuah seni pertunjukan.
Dalam suasana ekonomi yang serba sulit, bahkan hantu pun harus kreatif. Sebab, apalagi yang tersisa dari hal mistis, ketika dunia nyata sudah jauh lebih menyeramkan? Harga kebutuhan pokok naik, persaingan kerja sengit, berita politik bikin kepala panas maka ketakutan fiksi terasa justru lebih ramah, lebih jinak, lebih bisa dinegosiasikan.
Itu mungkin inti persoalannya: ketika hidup makin rumit, orang justru mencari hiburan pada hal-hal absurd. Hantu-hantu QRIS hanyalah cerminan betapa ketakutan bukan lagi sesuatu yang dihindari, melainkan dijual, dibungkus, dan dikemas manis agar layak menjadi hiburan pinggir jalan.





